Agenda Baru Pedesaan merupakan ruang bagi para penghuni bumi dan mereka yang selama ini mencari ruang hidup berkelanjutan untuk bersuara dan mengekspresikan agensi mereka, sebagai kontribusi konkret terhadap krisis yang dialami dunia. Dengan demikian, agenda-agenda yang akan dipaparkan sepenuhnya berlandaskan pada keberagaman praktik pengelolaan sumber daya dan budaya yang selama ini dilakukan oleh masyarakat akar rumput.
Pertanyaan yang dibahas dalam Agenda Baru Pedesaan adalah bagaimana kita memahami pedesaan sebagai sebuah konsep untuk berbicara tentang masa depan dengan menggunakan dua perspektif: pertama, aktivis budaya yang bekerja di tingkat akar rumput adalah tokoh penting dalam mengontekstualisasikan sumber daya budaya di wilayahnya masing-masing dan dalam menghasilkan kekuatan kolektif ditengah menghadapi isu-isu sosial dan ekologi. Kedua, pedesaan bukan lagi wilayah yang ‘tetap’ dan ‘begitulah adanya’. Pedesaan sejatinya adalah sebuah lokus yang perlu disadari, dipahami, dan diciptakan.
Latar Belakang
Kemampuan kritis penduduk setempat untuk bekerja dengan sumber daya di sekitarnya serta agensi selain manusia telah berhasil menghasilkan modal budaya yang dapat memecahkan berbagai masalah di lingkungan mereka. Praktik berbasis pedesaan ini tidak hanya bekerja dengan sumber daya dalam hal 'memanfaatkan', tetapi praktik tersebut juga menjaga dan melindungi keberlanjutan sumber daya dan kehidupan penghuninya. Upaya ini telah membuat pedesaan menjadi lebih fleksibel, dan lebih tangguh daripada beberapa kota dalam menghadapi misalnya pandemi. Ketika kita melihat ke dalam kelangsungan hidup dan masa depan kehidupan kita dengan beberapa tantangan yang kita hadapi saat ini, di antaranya keadilan iklim, pandemi, dan pengucilan, maka daerah pedesaan sebagai lokus adalah sesuatu yang signifikan untuk diteliti dan dipelajari.
Namun, kenyataan lain menunjukkan sebaliknya. Minimnya pembahasan global tentang kehidupan pedesaan oleh para elite pembuat kebijakan menunjukkan tanda-tanda memandang kehidupan pedesaan sebagai objek atau entitas tak berdaya, hanya sebagai penopang kehidupan kota. Cara berpikir ini dapat dilihat dalam Agenda Baru Perkotaan yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengantisipasi peningkatan jumlah kota metropolitan di dunia. Sementara itu, documenta fifteen, sebuah ajang penting dunia seni, mengundang komunitas Jatiwangi Art Factory dan kita melihat documenta sebagai panggung bagi masyarakat setempat untuk menyatakan bahwa pusatnya adalah pedesaan.
Pedesaan dan sumber dayanya, aset alam dan budaya, bersama dengan penduduknya yang secara aktif bekerja dengan budaya sebagai cara untuk campur tangan terhadap masalah-masalah lokal mereka–mengintegrasikannya dengan masyarakat, dapat menjadi akses untuk bertindak secara kolektif dalam mengusulkan cara-cara hidup yang layak di masa kini dan masa mendatang.
Soil Lab merupakan agenda bersama untuk mendukung kegiatan Soil Culture Laboratory, yang telah ada dan dikerjakan oleh komunitas. Berbagai upaya ini dilakukan untuk mengatasi berbagai krisis yang terjadi, demi menjaga kelangsungan hidup sebagai komunitas.
Soil Lab merupakan agenda bersama untuk mendukung kegiatan Laboratorium Kultur Tanah yang telah ada dan dikerjakan oleh komunitas. Berbagai upaya ini dilakukan untuk mengatasi berbagai krisis yang terjadi, demi menjaga kelangsungan hidup sebagai komunitas.
Harvesting berarti juga menyiapkan serangkaian platform untuk memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan lebih baik dilakukan di antara jaringan lokal melalui berbagai cara pemanenan. Beberapa cara pemanenan khususnya pada agenda bersama dan Soil Culture Lab di masing-masing lokasi Program Residensi.
The New Rural School is an artistic research program that conducted across several collective lands and plantations within the Lumbung Land network. It adopts the concept of “Pesantren,” utilizing the ‘nyantrik’ method—a learning approach that emphasizes deep bodily engagement and sensory immersion in activities led by the hosts of the land or farm.